Kamis, 25 Oktober 2012



UPAYA MENCARI ALTERNATIF BENTUK PENDANAAN DAN PEMBIAYAAN KOPERASI

Pendahuluan
Koperasi dilihat dari posisinya dalam perekonomian nasional, menduduki posisi yang sangat strategis mengingat koperasi merupakan pelaksanaan dari pesan konstitusional yang dengan santer dilaksanakan bersamaan dengan timbulnya ”orde baru” dalam pemerintah negara RI.  Terlebih pada saat perekonomian nasional mengalami stagnasi seperti saat ini, peranan koperasi semakin mendapatkan tempat.
Sebagai koreksi terhadap kebijaksanaan ekonomi lama yang menempatkan konglomerat sebagai ”engine of growth” yang ternyata lebih membuat rapuh basis ekonomi nasional, koperasi sebagai salah satu pelaku ekonomi yang berbasis ekonomi kerakyatan, diharapkan mampu memberdayakan ekonomi rakyat yang tangguh dan mandiri terutama bila dilihat dari segi potensinya sebagai sumber penyerapan tenaga kerja dalam mewujudkan aspek pemerataan.
Secara terinci posisi strategis koperasi tersebut antara lain karena:
1.      Berjumlah cukup besar dan terdapat dalam hampir setiap sektor ekonomi.  Berdasarkan pada data yang dapat dihimpun deparetemen koperasi (1988), tercatat bahwa dari 38,9 juta pengusaha, sebanyak 99,8% diantaranya adalah pengusaha kecil dan sebagian lain diantaranya bergabung dalam wadah koperasi yang jumlahnya mencapai 57.511 unit (tergolong aktif sebanyak 44.707 juta orang).  Oleh karena itu, pengusaha kecil dan koperasi memiliki akses besar dalam proses produksi dan konsumsi nasional.
2.      Berpotensi besar dalam penyerapan tenaga kerja terutama dalam hal menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja yang kurang terampil.  Terbukti, ditengah kesulitan ekonomi saat ini justru pengusaha kecil dan menengah (PKM) cukup tangguh dalam menghadapi gejolak ekonomi yang tidak stabil meskipun tak dapat pula dipungkiri bahwa sebagian PKM dan koperasi masih menghadapi kesulitan dalam mengakses pasar, permodalan, teknologi, rendahnya mutu sumber daya manusia, tetapi dalam realitanya juga mampu menunjukan diri sebagai penyedia lapangan kerja terbesar.  Dalam hal ini, dari survei yang dilakukan departemen koperasi dan PKM (1998) diperoleh gambaran dari 225 ribu PKM diidentifikasikan bahwa PKM yang masih bertahan sebanyak 64,1% ; 0,9% bahkan mampu berkembang, dan 31,0% mengurangi kegiatan usahanya, sedangkan 4,0% menghentikan kegiatan usahanya.
3.      Relatif cukup efektif dalam menciptakan kesempatan kerja karena tiap unit investasi pada PKM dan koperasi dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bila dibandingkan dengan investasi yang sama pada usaha besar.  Hal ini mengingat investasi yang ditanamkan pada PKM dan koperasi umumnya lebih bersifat padat karya.
Seperti halnya usaha kecil lainnya, koperasi dalam perekonomian nasional memiliki beberapa keterbatasan yang sangat sesifik, diantaranya adalah belum mampu menghimpun sana sebesar yang diperlukan.  Kebutuhan akan sumber dana diperlukan untuk:
1.      Modal tetap, seperti pembelian mesin dan peralatan, tanah, bangunan dan sebagainya.
2.      Modal kerja, seperti pembelian dan persediaan bahan baku, bahan jadi, memberikan kredit kepada yang berhak dalam hal melaksanakan unit usaha simpan pinjam.
3.      Investasi, dll
Walaupun dana bukanlah satu-satinya faktor yang dominan dalam upaya pengembangan koperasi, tetapi tidak dapat pula disangkal bahwa keterbatasan dana merupakan masalah pokok bagi kelangsungan hidup, kebebasan dan pertumbuhan koperasi.  Untuk memenuhi akan dana tersebut, koperasi dapat memilih berbagai alternatif pendanaan, diantaranya:
§        Pendanaan dari dalam
§        Pola pembinaan kemitraan
§        Pemanfaatan kredit bank
§        Pinjaman interlending
§        Penerbitan saham
Hal yang sangat urgen untuk diperhatikan dalam rangka pemanfaatan dana baik yang berasal dari dalam maupun dari luar koperasi, yaitu harus selalu memperhitungkan antara beban-beban biaya yang harus dipikulnya dengan pendapatan yang diharapkan diperolehnya.
      Untuk menilai efektifitas penggunaan dana, yang terpenting adalh tingkat perpuataran modal usaha (capital turn over).  Cara mengukurnya dapat dengan membandingkan jumlah penjualan bersih dengan modal luar ditambah modal sendiri dalam persen.  Formulasinya adalah sebagai berikut:
Penjualan bersih
                                                      X 100%
Modal sendiri + modal luar
      Apabila hasil yang didapat lebih dari 100%, menunjukan indikasi yang cukup baik, berarti koperasi berada dalam posisi ”undertrading”.  Artinya, usaha dan penjualan koperadi memiliki kesempatan untuk memperoleh keuntungan/laba yang besar, tetapi volume usaha dan penjualannya belum diperbesar.  Ini berarti pula, koperasi tersebut dapat memperbesar volume usaha dan penjualannya dengan mencari bantuan kredit.
      Sebaliknya apabila hasil yang diperoleh dari formulasi tersebut kurang dari 100%, berarti ada ”overtrading”.  Artinya usaha dan penjualan koperasi mengalami kerugian yang terus menerus padahal koperasi yang bersangkutan masih harus memenuhi semua kewajiban-kewajibanny auntuk membayar angsuran pinjaman/angsuran kredit beserta bunganya.  Ini berarti bahwa koperasi tersebut melakukan kegiatan usaha dengan bantuan kredit yang relatif lebih besar.

Pendanaan Koperasi dari Dalam
            Dalam suatu koperasi yang baik, biasanya terdapat upaya dari para anggotanya untuk mengerahkan pendanaan dari dalam koperasi sendiri, sebelum kemudian melihat ada atau tidaknya dana perlengkapan dari luar.  Sebagai langkah awal, pendanaan dari dalam dapat diperoleh melalui simpanan pokok, wajib dan sukarela yang secara terbatas dapat digunakan untuk menjalankan unit usaha ”simpan pinjam”.  Berangkat dari unit usaha inilah pendanaan dari dalam dapat dikembangkan.
Pada beberapa koperasi yang berhasil, upaya menumbuhkan pendanaan dari dalam melalui ”simpan pinjam” dilakukan melalui beberapa cara sebagai berikut:
1.      Menetapkan parameter antara jumlah pinjaman dengan jumlah simpanan. 
Secara jelas dimunculkan rasio 1:3 atau 1:5, artinya jika baru menyimpan Rp100.000,00 maka hanya boleh meminjam Rp300.000,00 atau Rp500.000,00.  Pengaturan dengan penggunaan rasio ini dilakukan untuk memacu pemupukan dana dari dalam dan supaya hasrat menabung bisa berkembang dengan baik.
2.      Memberikan balas jasa atas simpanan. 
Walaupun simpanan anggota merupakan sumber dana murah, tetapi untuk memelihara agar hasrat menabung anggota berkembang baik, maka diperlukan balas jasa berupa pemberian bunga atas simpanan yang diberikan, dengan tetap memperhatikan interest income atau pendapatan bunga dari aktivitas pinjaman yang diberikan lebih besar dari pada interest cost atau biaya bunga atas simpanan, sehingga tetap terpelihara margin usaha yang membentuk SHU yang realistis.
3.      Akumulasi Dana Cadangan. 
Pada beberapa usaha yang memerlukan investasi besar dan mempunyai pay back periode yang tinggi, akan aman apabila dana yang digunakan bersumber dari modal sendiri.  Diantaranya adalah melalui dana cadangan yang dibentuk dari Sisa Hasil Usaha yang disisihkan.  Pembentukan dana cadangan ditentukan berdasarkan hasil persetujuan Rapat Anggota Tahunan (RAT) dengan batasan minimal 25% dari SHU.  Artinya, koperasi dapat menentukan jumlah prosentase dari cadangan lebih dari 25%, tergantung pada tingkat kebutuhan koperasi terhadap dana.  Pada beberapa koperasi yang masih membutuhkan dana yang besar untuk membiayai kegiatan usaha, dapat menetapkan jumlah prosentase dana cadangan yang tinggi pula.  Sebaliknya, sejalan dengan berkembangnya koperasi menuju ke arah kemapanan, jumlah prosentase dana cadangan tersebut dapat dikurangi untuk dialokasikan pada dana-dana lainnya.  Sehingga, melalui pembentukan dana cadangan, diharapkan stabilitas kegiatan ekonomi koperasi dapat dicapai.
4.      Menetapkan provisi pinjaman
Bagi anggota yang meminjam, dikenakan provisi pinjaman (semisal 2% dari jumlah pinjaman), yang akan ditempatkan sebagai simpanan wajib bagi peminjam tersebut.  Penempatan sebagai simpanan wajib dilakukan untuk mengamankan koperasi dari kesulitan likuiditas keuangan.  Hal ini dikarenakan sifat dari simpanan wajib relatif lebih permanen, sebab penarikannya hanya dapat dilakukan pada saat anggota keluar dari keanggotaan koperasi.

Pola Pembinaan Kemitraan
Kesungguhan pemerintah untuk mengembangkan usaha-usaha kecil tidak disangsikan lagi.  Pada masa orde baru, hal itu antara lain ditunjukan dengan diadakannya deklarasi Jimbaran yang telah membuahkan suatu kesepakatan bahwa pengusaha besar baik swasta maupun BUMN harus membantu erciptanya kesempatan usaha bagi usaha kecil maupun koperasi, dalam sistem keterkaitan ataupun pola pembinaan lainnya, semisal melalui pembinaan kemitraan.  Pada pemerintahan Megawati hal ini dilakukan melalui Program Bantuan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada Usaha Kecil dan Koperasi (UKK).
Bagi koperasi yang sedang mengalami kesulitan pendanaan, pola pembinaan kemitraan dapat dijadikan pilihan alternatif untuk mengembangkan usaha, mengingat bantuan yang diberikan umumnya tidak hanya dalam aspek manajerial, teknologi ataupun pemasaran tetapi juga aspek permodalan.
Pembinaan kemitraan merupakan pola kerjasama diantara pengusaha besar dan kecil dengan prinsip saling membutuhkan, memperkuat dan menguntungkan.  Kerjasama itu dapat dilihat dalam tiga tingkat:  Pertama, kerjasama harus dilakukan secara rasional dan sadar, artinya ada keterkaitan usaha antara perusahaan pembina dan koperasi, bukan karena belas kasihan.  Kedua, membantu koperasi dalam segala aspek sehingga dapat menjalankan usahanya secara mandiri dan komersial.  Ketiga, menciptakan kerjasama antara koperasi dengan perusahaan pembina, yang ditandai dengan dipenuhinya supply komponen yang dibutuhkan perusahaan pembina oleh koperasi, sebaliknya koperasipun terbantu dengan adanya kepastian dalam jaringan pemasaran prosuknya.
Dengan adanya pola dimaksud, maka koperasi ditempatkan pada posisi yang sejajar dengan perusahaan pembina, sehingga misi ”kemartabatan” yang diemban dalam memberdayakan ekonomi rakyat dapat terwujud.  Artinya kerjasama itu tidak hanya menempatkan koperasi sebagai obyek ”belah kasih” semata, tetapi dapat mengembangkannya menjadi suatu tata hubungan yang saling menguntungkan, sehingga pada akhirnya diantara kedua belah pihak terdapat kesetaraan dalam posisi tawar menawar.

Memanfaatkan Kredit Bank
Sebagai upaya dalam mendukung pengembangan koperasi dan usaha kecil, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijaksanaan perkreditan baik yang menggunakan fasilitas kredit likuiditas Bank Indonesia maupun yang mengikutsertakan partisipasi perbankan.  Diantaranya koperasi diberi kesempatan untuk memanfaatkan beberapa jenis kredit antara lain:
1.      Kredit Usaha Tani (KUT)
Kredit ini diperuntukan bagi para petani yang memerlukan kredit guna membiayai intensifikasi pad/palawija dalam usaha tetap menjaga kelangsungan swasembada pangan.
2.      Kredit kepada KUD
Kredit ini diberikan oleh BRI atau bank pemberi kredit lainnya dengan kredit likuiditas bank indonesia sebesar 75% dari kredit yang disalurkan.  Besarnya kredit didasarkan atas kebutuhan nyata dan suku bunga dikaitkan dengan suku bunga pasar yang berlaku.
3.      Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya
Seperti halnya dua pola kredit tersebut, kredit ini diberikan oleh BRI atau bank-bank lainnya melalui koperasi primer dengan kredit likuiditas bank indonesia sebesar 75% dari kredit yang disalurkan.  Kredit dimaksud disediakan untuk membiayai kegiatan produktif di luar sektor perdagangan dan jasa.  Besarnya kredit dikaitkan dengan tabungan anggota, dengan maksimum kredit sebesar 30 juta per anggota.  Suku bunga kredit kepada koperasi dikaitkan dengan suku bunga pasar yang berlaku.
4.      Kredit Usaha Kecil (KUK)
Kredit yang diberikan pada koperasi yang dipandang mampu berdiri sendiri.  Suku bunga yang dikenakan ditentukan atas dasar bunga pasar yang berlaku.
5.      Kredit Kelayakan Usaha (KKU)
Kredit khusus yang diberikan kepada pengusaha kecil yang memiliki proyek yang sehat tanpa agunan fisik.  Untuk memperoleh kredit ini, yang dilihat bukan agunan fisik melainkan kelayakan usahanya. 
Bank BUKOPIN sebagai salah satu bank yang didirikan oleh koperasi dan mempunyai misi usaha mengembangkan koperasi dan usaha kecil, menawarkan beberapa alternatif perkreditan yaitu:
1.      Kredit Pedesaan
Kredit pedesaan adalah fasilitas kredit yang diberikan untuk usaha simpan pinjam KUD guna diteruskan kepada anggota melalui sistem kelompok.  Di dalam 1 KUD, terdiri dari 5 – 10 kelompok, dan masing-masing kelompok beranggotakan 20 – 50 orang
2.      Kredit ICDW Taiwan
Kredit ICDW Taiwan adalah kredit modal  kerja yang diberikan kepada koperasi primer (di pedesaan ataupun perkotaan) untuk diteruskan kepada anggotanya melalui kelompok untuk keperluan produktif dengan mengikuti sistem kredit pedesaan.
3.      Pinjaman Dana Bergulir
Pinjaman dana bergulir adalah pinjaman yang disediakan pemerintah dan bank untuk dipergunakan dalam rangka pengembangan kegiatan usaha kecil, anggota koperasi, anggota kelompok swadya masyarakat (KSM), nasabah lembaga dana dan kredit pedesaan (LKDKP) atau nasabah BPR, nasabah penerima adalah pengusaha kecil anggota koperasi, anggota KSM, nasabah LKDKP dan nasabah BPR yang mempunyai hasil penjualan bruto setinggi2nya Rp300 juta.
4.      Swamitra
Swamitra adalah unit usaha otonom dari kopersi yang bekerjasama dengan bank Bukopin yang berfungsi dan tugas utamanya melakukan kegiatan simpan pinjam baik secara langsung maupun melalui cabangnya/kelompok anggotanya.
5.      Kredit kepada Koperasi (KKOP)
Kredit kepad koperasi (KKOP) adalah kredit modal kerja/investasi dalam rangka pembiayaan usaha agribisnis.
6.      Kredit Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA)
Kredit Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA) adalah kredit investasi dan atau kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer untuk diteruskan kepada anggota-anggotanya guna membiayai usaha anggota yang produktif.
7.      Kredit Pengusaha Kecil Mikro (KPKM)
Kredit Pengusaha Kecil Mikro (KPKM) adalah kredit investasi dan atau kredit modal kerja yang diberikan kepada debitur, yaitu orang perseorangan, badan usaha yang berbadan hukum koperasi, atau kelompok perseorangan, yang usahanya memenuhi kriteria usaha kecil atau ciri-ciri usaha mikro.
8.      Kredit Taskin Koppas
Kredit Taskin Koppas adalah suatu fasilitas kredit modal kerja yang disediakan untuk kelompok taskin melalui koppas atau koperasi.

Pinjaman Interlending
Yang dimaksud dengan pinjaman interlending _ meminjam istilah Thoby Mutis_ adalah suatu pola saling pinjam antara koperasi-koperasi primer dan ditata lewat sekunder dan terus ke tingkat induknya.  Dalam interlending ini dipacu adanya ”pooling fund resources” dari koperasi-koperasi yang mempunyai dana yang berlebihan untuk digunakan oleh koperasi yang membutuhkannya melalui tuntunan sekundernya.
Koperasi-koperasi yang diikuti program ini berkewajiban menyerahkan simpanan yang belum mereka gunakan atau karena ada kelebihan simpanan terhadap pinjaman dalam satu kurun waktu tertentu.  Misalnya pada koperasi-koperasi di pedesaan biasanya pada musim tanam ada kelebihan permintaan pinjaman tetapi pada musim panen, simpanannya lebih tinggi dari pada pinjaman.  Sehingga terjadi surplus simpanan.
Surplus simpanan ini dapat segera disalurkan dalam jangka waktu tertentu pada interlending di tingkat sekunder dalam bentuk simpanan sukarrela.  Dari akumulasi simpanan sukarela yang terbentuk, interlending akan mendistribusikan pada koperasi yang membutuhkan.
Pinjaman melalui pola interlending ini memang belum begiru populer, karena pada umumnya hubungan antara organisasi tingkat primer dan sekunder tidak bersifat menunjang maupun melengkapi, sering bahkan justru bersaing.  Tetapi pola ini sesungguhnya bukan hal yang baru dan utopis untuk dilaksanakan, karena di era tahun 80-an telah dipraktekan oleh BK3D (Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah) dan BK3I (Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia) dan terbukti sukses dalam membantu kebutuhan koperasi akan dana.  Dengan demikian terlihat adanya ”cooperative perative financial network” yang sudah terjalin.
Kendatipun baru tahap awal, namun ada semacam terobosan yang mempunyai nuansa tertentu untuk terus dikembangkan.  Sehingga gerakan koperasi melalui organisasi sekunder dan bahkan induknya, turut memikul tanggung jawab dalam mengembangkan organisasi tingkat primer, baik dalam hal memberikan penyuluhan, bantuan administrasi dan manajemen, dukungan permodalan, pemeriksaan dan pelayanan-pelayanan lainnya yang umumnya dilakukan oleh pemerintah.

Penerbitan Saham
Kendatipun tujuan koperasi bukan profit oriented melainkan service oriented, tidak berarti dalam melaksanakan usahanya terlepas dari hukum pasar.  Sebagai pelaku ekonomi, koperasi tidak berbeda dengan pelaku-pelaku lainnya, kelangsungan usahanya tunduk kepada hukum survival perusahaan, artinya perusahaan dapat survive di pasaran bila dalam operasi usahanya ia mampu mencapai dan melebihi break even point (’titik impas’ dari biaya dan revenue).
Dalam kaitan dengan penggunaan danapun, harus dapat menggunakan sumber daya keuangan secara efisien dan layak.  Untuk itu, diperlukan pengukuran melalui rasio-rasio keuangan.  Dalam posisi keuangan under trading (kekurangan dana),  koperasi dapat melakukan fund expansion, dengan menerbitkan saham-saham yang dapat dimiliki oleh anggota koperasi ataupun masyarakat.
            Pemanfaatan yang dapat diperoleh dari pemilikan saham tersebut adalah diberikannya bagian keuntungan berupa dividen yang besar kecilnya tergantung pada SHU yang diperoleh koperasi.  Maka tidaklah salah apabila koperasi memperoleh SHU, karena tujuannya untuk mencapai kemakmuran bersama.  Oleh karena itu tekannya jangan diletakan pada kemakmuran orang per orang.
            Untuk menghindari adanya penguasaan koperasi oleh sekelompok orang tertentu sebagai implikasi dari adanya pemilikan saham, maka prinsip one man one vote yang terdapat pada koperasi tidak harus dikorbankan.  Dengan kata lain, besar kecilnya jumlah saham yang dimiliki, tidak mempengaruhi penguasaan suara dalam menentukan arah kebijakan koperasi.

Penutup
Era reformasi saat ini menuntut adanya kebijaksanaan ekonomi baru yang bercorak kerakyatan, kemandirian dan kemartabatan.  Koperasi sebagai salah satu pelaku ekonomi yang berpihak kepada usaha ekonomi rakyat harus diberikan kesempatan utama, dukungan dan pengembangan usaha seluas-luasnya.  Oleh karena itu keterbatasan dana yang kerap dihadapi banyak koperasi seyogyanya tidak menjadi kendala dalam menciptakan kemandirian usaha.
Berbagai alternatif sumber pendanaan dan pemberdayaan dapat diupayakan, baik melalui upaya pendanaan dari dalam, mengikuti pola pembinaan kemitraan ataupun pemanfaatan kredit bank.  Semuanya itu akan berhasil, apabila didukung oleh adanya keaktifan dari koperasi yang bersangkutan serta partisipasi dari seluruh anggota.










DAFTAR PUSTAKA


Bahri, Nurdin. 1997. Pengembangan Modal Bergulir Koperasi Melalui Pemupukan SHU Milik Anggota, Kasus Koperasi Luar Negeri. FE UI. Jakarta.

Balitbang BI. 1991. Peranan Bank Sentral Terhadap Sistem Pendanaan Koperasi. Makalah Lokakarya DEKOPIN.

Gupta, UK dan Gaikmad UB. 1982. Pendekatan Manajemen Terpadu Bagi Koperasi Pedesaaan. KKB IKOPIN. Bandung

Hadiwidjaja dkk. 1996. Sekilas Tentang Modal dan Kemandirian Koperasi. Pionir Jaya. Banung

Palallo, Karel. 1999. Peranan Bank BUKOPIN dalam Mendukung Pemberdayaan Pengusaha Kecil, Menengah dan Koperasi. Makalah seminar Nasional FE Untirta.

Riyanto, Bambang. 1984. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Penerbit Gajah Mada. Yogyakarta.

Mutis, Thoby. 1991. Pendanaan Koperasi dari Dalam. Makalah Lokakarya DEKOPIN.






Tidak ada komentar: