UPAYA MENCARI ALTERNATIF BENTUK PENDANAAN
DAN PEMBIAYAAN KOPERASI
Pendahuluan
Koperasi dilihat dari posisinya dalam
perekonomian nasional, menduduki posisi yang sangat strategis mengingat
koperasi merupakan pelaksanaan dari pesan konstitusional yang dengan santer
dilaksanakan bersamaan dengan timbulnya ”orde baru” dalam pemerintah negara
RI. Terlebih pada saat perekonomian nasional mengalami
stagnasi seperti saat ini, peranan koperasi semakin mendapatkan tempat.
Sebagai koreksi terhadap kebijaksanaan
ekonomi lama yang menempatkan konglomerat sebagai ”engine of growth”
yang ternyata lebih membuat rapuh basis ekonomi nasional, koperasi sebagai
salah satu pelaku ekonomi yang berbasis ekonomi kerakyatan, diharapkan mampu
memberdayakan ekonomi rakyat yang tangguh dan mandiri terutama bila dilihat
dari segi potensinya sebagai sumber penyerapan tenaga kerja dalam mewujudkan
aspek pemerataan.
Secara terinci posisi strategis koperasi
tersebut antara lain karena:
1. Berjumlah cukup besar dan
terdapat dalam hampir setiap sektor ekonomi. Berdasarkan pada data yang dapat dihimpun
deparetemen koperasi (1988), tercatat bahwa dari 38,9 juta pengusaha, sebanyak
99,8% diantaranya adalah pengusaha kecil dan sebagian lain diantaranya
bergabung dalam wadah koperasi yang jumlahnya mencapai 57.511 unit (tergolong
aktif sebanyak 44.707 juta orang). Oleh
karena itu, pengusaha kecil dan koperasi memiliki akses besar dalam proses
produksi dan konsumsi nasional.
2. Berpotensi besar dalam
penyerapan tenaga kerja terutama dalam hal menciptakan lapangan kerja bagi
tenaga kerja yang kurang terampil. Terbukti,
ditengah kesulitan ekonomi saat ini justru pengusaha kecil dan menengah (PKM)
cukup tangguh dalam menghadapi gejolak ekonomi yang tidak stabil meskipun tak
dapat pula dipungkiri bahwa sebagian PKM dan koperasi masih menghadapi
kesulitan dalam mengakses pasar, permodalan, teknologi, rendahnya mutu sumber
daya manusia, tetapi dalam realitanya juga mampu menunjukan diri sebagai penyedia
lapangan kerja terbesar. Dalam hal ini,
dari survei yang dilakukan departemen koperasi dan PKM (1998) diperoleh
gambaran dari 225 ribu PKM diidentifikasikan bahwa PKM yang masih bertahan
sebanyak 64,1% ; 0,9% bahkan mampu berkembang, dan 31,0% mengurangi kegiatan
usahanya, sedangkan 4,0% menghentikan kegiatan usahanya.
3. Relatif cukup efektif dalam
menciptakan kesempatan kerja karena tiap unit investasi pada PKM dan koperasi
dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bila dibandingkan dengan
investasi yang sama pada usaha besar.
Hal ini mengingat investasi yang ditanamkan pada PKM dan koperasi
umumnya lebih bersifat padat karya.
Seperti halnya usaha kecil lainnya,
koperasi dalam perekonomian nasional memiliki beberapa keterbatasan yang sangat
sesifik, diantaranya adalah belum mampu menghimpun sana sebesar yang
diperlukan. Kebutuhan akan sumber dana
diperlukan untuk:
1. Modal tetap, seperti
pembelian mesin dan peralatan, tanah, bangunan dan sebagainya.
2. Modal kerja, seperti
pembelian dan persediaan bahan baku, bahan jadi, memberikan kredit kepada yang
berhak dalam hal melaksanakan unit usaha simpan pinjam.
3. Investasi, dll
Walaupun dana bukanlah satu-satinya faktor
yang dominan dalam upaya pengembangan koperasi, tetapi tidak dapat pula
disangkal bahwa keterbatasan dana merupakan masalah pokok bagi kelangsungan
hidup, kebebasan dan pertumbuhan koperasi.
Untuk memenuhi akan dana tersebut, koperasi dapat memilih berbagai
alternatif pendanaan, diantaranya:
§
Pendanaan dari dalam
§
Pola pembinaan kemitraan
§
Pemanfaatan kredit bank
§
Pinjaman interlending
§
Penerbitan saham
Hal yang sangat urgen untuk
diperhatikan dalam rangka pemanfaatan dana baik yang berasal dari dalam maupun
dari luar koperasi, yaitu harus selalu memperhitungkan antara beban-beban biaya
yang harus dipikulnya dengan pendapatan yang diharapkan diperolehnya.
Untuk menilai efektifitas penggunaan dana, yang terpenting
adalh tingkat perpuataran modal usaha (capital turn over). Cara mengukurnya dapat dengan membandingkan
jumlah penjualan bersih dengan modal luar ditambah modal sendiri dalam
persen. Formulasinya adalah sebagai
berikut:
Penjualan bersih
X
100%
Modal sendiri + modal luar
Apabila hasil yang didapat lebih dari 100%, menunjukan indikasi
yang cukup baik, berarti koperasi berada dalam posisi ”undertrading”. Artinya, usaha dan penjualan koperadi memiliki
kesempatan untuk memperoleh keuntungan/laba yang besar, tetapi volume usaha dan
penjualannya belum diperbesar. Ini
berarti pula, koperasi tersebut dapat memperbesar volume usaha dan penjualannya
dengan mencari bantuan kredit.
Sebaliknya apabila hasil yang diperoleh dari formulasi tersebut
kurang dari 100%, berarti ada ”overtrading”. Artinya usaha dan penjualan koperasi
mengalami kerugian yang terus menerus padahal koperasi yang bersangkutan masih
harus memenuhi semua kewajiban-kewajibanny auntuk membayar angsuran
pinjaman/angsuran kredit beserta bunganya.
Ini berarti bahwa koperasi tersebut melakukan kegiatan usaha dengan
bantuan kredit yang relatif lebih besar.
Pendanaan Koperasi dari Dalam
Dalam
suatu koperasi yang baik, biasanya terdapat upaya dari para anggotanya untuk
mengerahkan pendanaan dari dalam koperasi sendiri, sebelum kemudian melihat ada
atau tidaknya dana perlengkapan dari luar.
Sebagai langkah awal, pendanaan dari dalam dapat diperoleh melalui
simpanan pokok, wajib dan sukarela yang secara terbatas dapat digunakan untuk
menjalankan unit usaha ”simpan pinjam”.
Berangkat dari unit usaha inilah pendanaan dari dalam dapat
dikembangkan.
Pada beberapa koperasi yang berhasil,
upaya menumbuhkan pendanaan dari dalam melalui ”simpan pinjam” dilakukan
melalui beberapa cara sebagai berikut:
1. Menetapkan parameter antara
jumlah pinjaman dengan jumlah simpanan.
Secara jelas dimunculkan rasio
1:3 atau 1:5, artinya jika baru menyimpan Rp100.000,00 maka hanya boleh
meminjam Rp300.000,00 atau Rp500.000,00.
Pengaturan dengan penggunaan rasio ini dilakukan untuk memacu pemupukan
dana dari dalam dan supaya hasrat menabung bisa berkembang dengan baik.
2. Memberikan balas jasa atas
simpanan.
Walaupun simpanan anggota
merupakan sumber dana murah, tetapi untuk memelihara agar hasrat menabung
anggota berkembang baik, maka diperlukan balas jasa berupa pemberian bunga atas
simpanan yang diberikan, dengan tetap memperhatikan interest income atau
pendapatan bunga dari aktivitas pinjaman yang diberikan lebih besar dari pada interest
cost atau biaya bunga atas simpanan, sehingga tetap terpelihara margin
usaha yang membentuk SHU yang realistis.
3. Akumulasi Dana
Cadangan.
Pada beberapa usaha yang
memerlukan investasi besar dan mempunyai pay back periode yang tinggi, akan
aman apabila dana yang digunakan bersumber dari modal sendiri. Diantaranya adalah melalui dana cadangan yang
dibentuk dari Sisa Hasil Usaha yang disisihkan.
Pembentukan dana cadangan ditentukan berdasarkan hasil persetujuan Rapat
Anggota Tahunan (RAT) dengan batasan minimal 25% dari SHU. Artinya, koperasi dapat menentukan jumlah
prosentase dari cadangan lebih dari 25%, tergantung pada tingkat kebutuhan
koperasi terhadap dana. Pada beberapa
koperasi yang masih membutuhkan dana yang besar untuk membiayai kegiatan usaha,
dapat menetapkan jumlah prosentase dana cadangan yang tinggi pula. Sebaliknya, sejalan dengan berkembangnya
koperasi menuju ke arah kemapanan, jumlah prosentase dana cadangan tersebut
dapat dikurangi untuk dialokasikan pada dana-dana lainnya. Sehingga, melalui pembentukan dana cadangan,
diharapkan stabilitas kegiatan ekonomi koperasi dapat dicapai.
4. Menetapkan provisi pinjaman
Bagi anggota yang meminjam,
dikenakan provisi pinjaman (semisal 2% dari jumlah pinjaman), yang akan
ditempatkan sebagai simpanan wajib bagi peminjam tersebut. Penempatan sebagai simpanan wajib dilakukan
untuk mengamankan koperasi dari kesulitan likuiditas keuangan. Hal ini dikarenakan sifat dari simpanan wajib
relatif lebih permanen, sebab penarikannya hanya dapat dilakukan pada saat
anggota keluar dari keanggotaan koperasi.
Pola Pembinaan Kemitraan
Kesungguhan pemerintah untuk mengembangkan
usaha-usaha kecil tidak disangsikan lagi.
Pada masa orde baru, hal itu antara lain ditunjukan dengan diadakannya
deklarasi Jimbaran yang telah membuahkan suatu kesepakatan bahwa pengusaha
besar baik swasta maupun BUMN harus membantu erciptanya kesempatan usaha bagi
usaha kecil maupun koperasi, dalam sistem keterkaitan ataupun pola pembinaan
lainnya, semisal melalui pembinaan kemitraan.
Pada pemerintahan Megawati hal ini dilakukan melalui Program Bantuan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada Usaha Kecil dan Koperasi (UKK).
Bagi koperasi yang sedang mengalami
kesulitan pendanaan, pola pembinaan kemitraan dapat dijadikan pilihan alternatif
untuk mengembangkan usaha, mengingat bantuan yang diberikan umumnya tidak hanya
dalam aspek manajerial, teknologi ataupun pemasaran tetapi juga aspek
permodalan.
Pembinaan kemitraan merupakan pola
kerjasama diantara pengusaha besar dan kecil dengan prinsip saling membutuhkan,
memperkuat dan menguntungkan. Kerjasama
itu dapat dilihat dalam tiga tingkat:
Pertama, kerjasama harus dilakukan secara rasional dan sadar, artinya
ada keterkaitan usaha antara perusahaan pembina dan koperasi, bukan karena
belas kasihan. Kedua, membantu koperasi
dalam segala aspek sehingga dapat menjalankan usahanya secara mandiri dan
komersial. Ketiga, menciptakan kerjasama
antara koperasi dengan perusahaan pembina, yang ditandai dengan dipenuhinya
supply komponen yang dibutuhkan perusahaan pembina oleh koperasi, sebaliknya
koperasipun terbantu dengan adanya kepastian dalam jaringan pemasaran
prosuknya.
Dengan adanya pola dimaksud, maka koperasi
ditempatkan pada posisi yang sejajar dengan perusahaan pembina, sehingga misi
”kemartabatan” yang diemban dalam memberdayakan ekonomi rakyat dapat
terwujud. Artinya kerjasama itu tidak
hanya menempatkan koperasi sebagai obyek ”belah kasih” semata, tetapi dapat
mengembangkannya menjadi suatu tata hubungan yang saling menguntungkan,
sehingga pada akhirnya diantara kedua belah pihak terdapat kesetaraan dalam
posisi tawar menawar.
Memanfaatkan Kredit Bank
Sebagai upaya dalam mendukung pengembangan
koperasi dan usaha kecil, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijaksanaan
perkreditan baik yang menggunakan fasilitas kredit likuiditas Bank Indonesia
maupun yang mengikutsertakan partisipasi perbankan. Diantaranya koperasi diberi kesempatan untuk memanfaatkan beberapa jenis
kredit antara lain:
1. Kredit Usaha Tani (KUT)
Kredit ini diperuntukan bagi
para petani yang memerlukan kredit guna membiayai intensifikasi pad/palawija
dalam usaha tetap menjaga kelangsungan swasembada pangan.
2. Kredit kepada KUD
Kredit ini diberikan oleh BRI
atau bank pemberi kredit lainnya dengan kredit likuiditas bank indonesia
sebesar 75% dari kredit yang disalurkan.
Besarnya kredit
didasarkan atas kebutuhan nyata dan suku bunga dikaitkan dengan suku bunga
pasar yang berlaku.
3. Kredit kepada Koperasi
Primer untuk Anggotanya
Seperti halnya dua pola kredit
tersebut, kredit ini diberikan oleh BRI atau bank-bank lainnya melalui koperasi
primer dengan kredit likuiditas bank indonesia sebesar 75% dari kredit yang
disalurkan. Kredit dimaksud disediakan
untuk membiayai kegiatan produktif di luar sektor perdagangan dan jasa. Besarnya kredit dikaitkan dengan tabungan
anggota, dengan maksimum kredit sebesar 30 juta per anggota. Suku bunga kredit kepada koperasi dikaitkan
dengan suku bunga pasar yang berlaku.
4. Kredit Usaha Kecil (KUK)
Kredit yang diberikan pada
koperasi yang dipandang mampu berdiri sendiri.
Suku bunga yang dikenakan ditentukan atas dasar bunga pasar yang
berlaku.
5. Kredit Kelayakan Usaha (KKU)
Kredit khusus yang diberikan
kepada pengusaha kecil yang memiliki proyek yang sehat tanpa agunan fisik. Untuk memperoleh kredit ini, yang dilihat
bukan agunan fisik melainkan kelayakan usahanya.
Bank BUKOPIN sebagai salah satu bank yang
didirikan oleh koperasi dan mempunyai misi usaha mengembangkan koperasi dan
usaha kecil, menawarkan beberapa alternatif perkreditan yaitu:
1. Kredit Pedesaan
Kredit pedesaan adalah
fasilitas kredit yang diberikan untuk usaha simpan pinjam KUD guna diteruskan
kepada anggota melalui sistem kelompok.
Di dalam 1 KUD, terdiri dari 5 – 10 kelompok, dan masing-masing kelompok
beranggotakan 20 – 50 orang
2. Kredit ICDW Taiwan
Kredit ICDW Taiwan adalah
kredit modal kerja yang diberikan kepada
koperasi primer (di pedesaan ataupun perkotaan) untuk diteruskan kepada
anggotanya melalui kelompok untuk keperluan produktif dengan mengikuti sistem
kredit pedesaan.
3. Pinjaman Dana Bergulir
Pinjaman dana bergulir adalah
pinjaman yang disediakan pemerintah dan bank untuk dipergunakan dalam rangka
pengembangan kegiatan usaha kecil, anggota koperasi, anggota kelompok swadya
masyarakat (KSM), nasabah lembaga dana dan kredit pedesaan (LKDKP) atau nasabah
BPR, nasabah penerima adalah pengusaha kecil anggota koperasi, anggota KSM,
nasabah LKDKP dan nasabah BPR yang mempunyai hasil penjualan bruto setinggi2nya
Rp300 juta.
4. Swamitra
Swamitra adalah unit usaha
otonom dari kopersi yang bekerjasama dengan bank Bukopin yang berfungsi dan
tugas utamanya melakukan kegiatan simpan pinjam baik secara langsung maupun
melalui cabangnya/kelompok anggotanya.
5. Kredit kepada Koperasi
(KKOP)
Kredit kepad koperasi (KKOP)
adalah kredit modal kerja/investasi dalam rangka pembiayaan usaha agribisnis.
6. Kredit Koperasi Primer untuk
Anggotanya (KKPA)
Kredit Koperasi Primer untuk
Anggotanya (KKPA) adalah kredit investasi dan atau kredit modal kerja yang
diberikan oleh bank kepada koperasi primer untuk diteruskan kepada
anggota-anggotanya guna membiayai usaha anggota yang produktif.
7. Kredit Pengusaha Kecil Mikro
(KPKM)
Kredit Pengusaha Kecil Mikro
(KPKM) adalah kredit investasi dan atau kredit modal kerja yang diberikan
kepada debitur, yaitu orang perseorangan, badan usaha yang berbadan hukum
koperasi, atau kelompok perseorangan, yang usahanya memenuhi kriteria usaha
kecil atau ciri-ciri usaha mikro.
8. Kredit Taskin Koppas
Kredit Taskin Koppas adalah
suatu fasilitas kredit modal kerja yang disediakan untuk kelompok taskin
melalui koppas atau koperasi.
Pinjaman Interlending
Yang dimaksud dengan pinjaman interlending
_ meminjam istilah Thoby Mutis_ adalah suatu pola saling pinjam antara
koperasi-koperasi primer dan ditata lewat sekunder dan terus ke tingkat induknya. Dalam interlending ini dipacu adanya ”pooling
fund resources” dari koperasi-koperasi yang mempunyai dana yang berlebihan
untuk digunakan oleh koperasi yang membutuhkannya melalui tuntunan sekundernya.
Koperasi-koperasi yang diikuti program ini
berkewajiban menyerahkan simpanan yang belum mereka gunakan atau karena ada
kelebihan simpanan terhadap pinjaman dalam satu kurun waktu tertentu. Misalnya pada koperasi-koperasi di pedesaan biasanya pada musim tanam ada
kelebihan permintaan pinjaman tetapi pada musim panen, simpanannya lebih tinggi
dari pada pinjaman. Sehingga terjadi
surplus simpanan.
Surplus simpanan ini dapat segera
disalurkan dalam jangka waktu tertentu pada interlending di tingkat sekunder
dalam bentuk simpanan sukarrela. Dari
akumulasi simpanan sukarela yang terbentuk, interlending akan mendistribusikan
pada koperasi yang membutuhkan.
Pinjaman melalui pola interlending ini
memang belum begiru populer, karena pada umumnya hubungan antara organisasi
tingkat primer dan sekunder tidak bersifat menunjang maupun melengkapi, sering
bahkan justru bersaing. Tetapi pola ini
sesungguhnya bukan hal yang baru dan utopis untuk dilaksanakan, karena di era
tahun 80-an telah dipraktekan oleh BK3D (Badan Koordinasi Koperasi Kredit
Daerah) dan BK3I (Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia) dan terbukti
sukses dalam membantu kebutuhan koperasi akan dana. Dengan demikian terlihat adanya
”cooperative perative financial network” yang sudah terjalin.
Kendatipun
baru tahap awal, namun ada semacam terobosan yang mempunyai nuansa tertentu
untuk terus dikembangkan. Sehingga
gerakan koperasi melalui organisasi sekunder dan bahkan induknya, turut memikul
tanggung jawab dalam mengembangkan organisasi tingkat primer, baik dalam hal
memberikan penyuluhan, bantuan administrasi dan manajemen, dukungan permodalan,
pemeriksaan dan pelayanan-pelayanan lainnya yang umumnya dilakukan oleh
pemerintah.
Penerbitan Saham
Kendatipun tujuan koperasi bukan profit
oriented melainkan service oriented, tidak berarti dalam
melaksanakan usahanya terlepas dari hukum pasar. Sebagai pelaku ekonomi, koperasi tidak
berbeda dengan pelaku-pelaku lainnya, kelangsungan usahanya tunduk kepada hukum
survival perusahaan, artinya perusahaan dapat survive di pasaran
bila dalam operasi usahanya ia mampu mencapai dan melebihi break even point
(’titik impas’ dari biaya dan revenue).
Dalam kaitan dengan penggunaan danapun, harus
dapat menggunakan sumber daya keuangan secara efisien dan layak. Untuk itu, diperlukan pengukuran melalui
rasio-rasio keuangan. Dalam posisi
keuangan under trading (kekurangan dana), koperasi dapat melakukan fund expansion,
dengan menerbitkan saham-saham yang dapat dimiliki oleh anggota koperasi
ataupun masyarakat.
Pemanfaatan
yang dapat diperoleh dari pemilikan saham tersebut adalah diberikannya bagian
keuntungan berupa dividen yang besar kecilnya tergantung pada SHU yang
diperoleh koperasi. Maka tidaklah salah
apabila koperasi memperoleh SHU, karena tujuannya untuk mencapai kemakmuran
bersama. Oleh karena itu tekannya jangan
diletakan pada kemakmuran orang per orang.
Untuk
menghindari adanya penguasaan koperasi oleh sekelompok orang tertentu sebagai
implikasi dari adanya pemilikan saham, maka prinsip one man one vote yang
terdapat pada koperasi tidak harus dikorbankan.
Dengan kata lain, besar kecilnya jumlah saham yang dimiliki, tidak
mempengaruhi penguasaan suara dalam menentukan arah kebijakan koperasi.
Penutup
Era reformasi saat ini menuntut adanya
kebijaksanaan ekonomi baru yang bercorak kerakyatan, kemandirian dan kemartabatan. Koperasi sebagai salah satu pelaku ekonomi
yang berpihak kepada usaha ekonomi rakyat harus diberikan kesempatan utama,
dukungan dan pengembangan usaha seluas-luasnya.
Oleh karena itu keterbatasan dana yang kerap dihadapi banyak koperasi
seyogyanya tidak menjadi kendala dalam menciptakan kemandirian usaha.
Berbagai alternatif sumber pendanaan dan
pemberdayaan dapat diupayakan, baik melalui upaya pendanaan dari dalam,
mengikuti pola pembinaan kemitraan ataupun pemanfaatan kredit bank. Semuanya itu akan berhasil, apabila didukung
oleh adanya keaktifan dari koperasi yang bersangkutan serta partisipasi dari
seluruh anggota.
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, Nurdin. 1997. Pengembangan Modal Bergulir Koperasi Melalui Pemupukan
SHU Milik Anggota, Kasus Koperasi Luar Negeri. FE UI. Jakarta.
Balitbang BI. 1991. Peranan Bank Sentral Terhadap Sistem Pendanaan
Koperasi. Makalah Lokakarya DEKOPIN.
Gupta, UK dan Gaikmad UB. 1982. Pendekatan Manajemen Terpadu Bagi Koperasi
Pedesaaan. KKB IKOPIN. Bandung
Hadiwidjaja dkk. 1996. Sekilas Tentang Modal dan Kemandirian Koperasi.
Pionir Jaya. Banung
Palallo, Karel. 1999. Peranan Bank BUKOPIN dalam Mendukung Pemberdayaan
Pengusaha Kecil, Menengah dan Koperasi. Makalah seminar Nasional FE Untirta.
Riyanto, Bambang. 1984. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Penerbit Gajah
Mada. Yogyakarta.
Mutis, Thoby. 1991. Pendanaan Koperasi dari Dalam. Makalah Lokakarya
DEKOPIN.